Telfon Ajaib

06.06 Dery Rizki Purwanto 0 Comments



“Aku keatas dulu ya mau telfon sebentar”, kataku kepada temanku yang jogging bersamaku sore itu.

     Aku menaiki entah berapa anak tangga, dan aku sampai di tribun stadion. Aku colok Headset di smartphone-ku, lalu aku pasang speaker headset-nya di telingaku. Aku menekan 021, kode daerah Jakarta dan sekitarnya lalu diikuti dengan nomor telfon warungku karena aku kira sore itu warung belum tutup. Setelah aku tunggu bunyi ‘tuutt’ beberapa kali, ternyata tidak ada yang mengangkat telfonku. Dengan penuh kepastian aku mengganti nomor yang aku telfon menjadi nomor telfon rumahku. Hanya menunggu sebentar lalu tersambung, kami sama-sama memberi salam “Assalamu’alaikum”, dan kami juga menjawab salam “Wa’alaikumussalam Warahmatullah”. Setelah itu orang tercinta yang mengangkat telfonku berkata, “Ada apa sayang? Mamah telfon balik atau gimana?”.”Iya mah, telfon balik ya”, kataku yang sebelum menelfon sempat cek pulsa yang hanya tersisa dua ribu rupiah-an. Sekitar tiga menit, ya menurutku sedikit lama memandangi layar smartphone menunggu telfon. Tiba-tiba telfon masuk, langsung ku angkat. Seperti biasa, tanya jawab.

“Lagi dimana ri? Kok suaranya rame?”.

“Iya mah, ini abis lari di stadion”.

“Loh lagi ngga di kosan? Udah mau magrib”.

“Iya dikit lagi pulang mah. ini sekarang kosanku deket mana-mana mah, deket kampus(Lumayansih), deket stadion, deket tempat ngaji juga”.

“Oh iya ri gimana kabarnya?”

     Lalu aku mulai cerita tentang UTS, yang mana baru besok akan benar-benar menghadapi UTS yang sesungguhnya(Baca : Besok Hiper). Beliau cerita seperti biasa, cerita warung, dan selalu di akhiri dengan “Alhamdulillah ri”. Sampai akhirnya Mamah cerita tentang Deniv.

“Ini lho ri, adikmu susah banget bangun subuh sekarang”.

“Oh iya, anaknya mana mah?”

“Ini ada, baru pulang ngaji. Suruh solat subuh coba ri”.

     Kali ini berbeda, kata perintah “Suruh solat subuh coba ri”. Tidak langsung aku laksanakan. Mengingat aku lagi dodol-dodolnya belakangan ini. Bagaimana bisa aku nyuruh solat tapi dua tiga hari terakhir subuhku juga kesiangan. Entah kenapa pada saat itu juga teringat kisah  Umar bin Khathtab Radhiallahu’anhu saat diminta menjelaskan besarnya pahala membebaskan budak, sementara saat itu beliau Radhiallahu’anhu masih memiliki budak. Beliau tidak berkata kecuali setelah beliau pulang dan membebaskan semua budaknya. Meskipun begitu, aku tetap berkata kepada adikku saat itu “Solat lu nip, kata mamah lu susah dibangunin ya”. Seperti biasa, dia hanya menjawab iya. Singkat cerita, telfon berakhir.


     Kadang memang aku bingung, saat sedang penat di perantauan harus berbuat apa. Namun sekarang, mungkin sudah mulai tercerahkan. Alhamdulillah. Sederhana, mungkin hanya sekedar menelfon rumah dan memberikan sepenuhnya perhatian pada suara yang berada di telfon. Mumpung masih bisa telfonan, kalo kata si ‘Pakde’,Hal-hal sederhana yang nampaknya remeh, tapi akan sangat bermakna ketika sudah tak bisa lagi dilakukan”.

0 komentar: